Sejarah Berdirinya Thoriqoh Naqsyabandiyyah Sokaraja
Thoriq Naqsyabandiyyah Sokaraja didirikan oleh mbah Ilyas yang lahir di Kedungparuk sekitar tahun 1186 H (1765 M) dari seorang ibu bernama Siti Zaenab binti Maseh bin K.H. Abdussamad (Mbah Jombor). Sejak kecil mbah Ilyas belajar ilmu agama dari orang tuanya yaitu Raden Mas Haji Ali Dipowongso yang merupakan seorang priyayi, kerabat keraton Yogyakarta dan ulama di Kedungparuk. Setelah dewasa, mbah Ilyas belajar ke beberapa pesantren di Surabaya yaitu kepada Kyai Ubaidah dan Kyai Abdurrahman yang merupakan dua guru thoriqoh Naqsyabandiyah yang mendapat ijazah dari Syekh al-Karomi. Mbah Ilyas kemudian berangkat ke Mekah berguru kepada Syeh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais. Beliau belajar di Mekah cukup lama ada yang mengatakan hingga 45 tahun. Syekh Sulaiman Zuhdi mengangkat tiga orang khalifah untuk Jawa yaitu Muhammad Hadi dari Girikusumo, Abdullah dari Kepatian, Tegal dan mbah Ilyas dari Kedung Paruk, Banyumas. Diriwayatkan Abdullah yang merupakan teman seperguruan mbah Ilyas tersebut memberikan puterinya menjadi istri mbah Ilyas untuk mempererat tali persahabatan.
Mbah Ilyas mendapatkan ijazah dari gurunya yakni Syekh Sulaiman Zuhdi al-Makki sekitar tahun 1246 H/1825 M pada usia 60 tahun. Sekembali dari Mekah, mbah Ilyas mendirikan toriqoh Annaqsyabandiyyah Almujaddadiyyah Alkholidiyyah di Kedungparuk sekitar tahun 1864 dan menjadi guru mursyid di pesantrennya tersebut. Karena pengikutnya semakin banyak, Belanda khawatir dikira akan menghimpun kekuatan untuk memberontak. Mbah Ilyas kemudian ditangkap dan dimasukkan ke penjara (buen) di Banyumas. Namun diriwayatkan bahwa selama dalam penjara, sel yang ditempati mbah Ilyas sering memancarkan cahaya terang benderang, seperti kebakaran, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mbah Ilyas dianggap mempunyai kesaktian. Atas usaha seorang penghulu Landrad bernama syeh Abu Bakar, mbah Ilyas akhirnya dibebaskan. Abu Bakar, sang Penghulu Kabupaten meyakinkan Belanda bahwa mbah Ilyas tidak punya ambisi politik. Abu Bakar juga memberikan seorang puterinya bernama Siti Khotijah untuk menjadi isteri kedua mbah Ilyas. Mbah Ilyas diberi tempat baru di Sokaraja untuk melanjutkan pesantrennya. Hal ini kemungkinan juga untuk meyakinkan Belanda agar lebih mudah mengawasi kegiatan pesantren mbah Ilyas dari Kawedanan yang tidak jauh dari lokasi pondok Sokaraja. Sejak saat itu pondok pesantren mbah Ilyas di Kedungparuk pindah ke Sokaraja pada tahun 1888. Dibantu penduduk setempat, beliau membangun masjid yang awalnya masih sangat sederhana. Para pengikut Naqsyabandiyah terutama berasal dari daerah Banyumas dan Purbalingga. Muhammad Ilyas memiliki ribuan pengikut dan sejumlah badal yang aktif dalam mengamalkan dan menyebarkan thoriqoh. Hingga saat ini pondok tersebut menjadi pondok pesantren Toriqoh An Naqsyabandiyyah Al Mujaddadiyyah Al Kholidiyyah Sokaraja.
Setelah mbah Ilyas wafat, kemursidannya di pondok Sokaraja dilanjutkan oleh keturunan beliau. Muhammad Ilyas menggariskan aturan bahwa kedudukannya sebagai Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah hanya dapat diwariskan kepada keturunan laki-laki garis langsung dan tidak digantikan oleh menantunya sekalipun [19], oleh karena itu putranya Affandi kemudian menggantikan mbah Ilyas saat meninggal dunia pada tahun 1916. Penerus selanjutnya adalah keturunan dari mursyid sebelumnya sebagaimana wasiat mbah Ilyas. Berikut mursyid-mursyid Thoriqoh Annaqsyabandiyyah Almujaddadiyyah Alkholidiyyah Sokaraja.
Mursyid
No | Nama | Periode |
1 | K.H.R. Ilyas | Wafat 29 Shofar 1334 H
(05 Januari, 1916 M) |
2 | K.H.R. Muhammad Affandi | Wafat 1347 H (1929 M) |
3 | K.H.R. Ahmad Rifa’i | Wafat 1388 H (1969 M) |
4 | K.H.R. Abdusalam | Wafat Senen, 13 Rajab, 1435 H
(12 Mei 2014 M) |
5 | K.H.R. Toriq Arif Ghuzdewan | – |